Rabu, 22 Januari 2014

Menjadi Punk Tak Harus Anarkis


inilahyk.blogspot.com - Dua pekan yang lalu, Kota Yogyakarta dipadati oleh gerombolan yang menggunakan atribut yang identik dengan kaum punk. Gerombolan tersebut adalahoutSIDers ,para fans band idola merekaSuperman Is Dead, yang tampil malam itu di Stadion Kridosono, Minggu malam (9/10) lalu. Superman Is Dead yang lebih dulu tampil sebelum J-Rocks membawakan sejumlah hits mereka seperti,‘Kuat Kita Bersinar’‘Kuta Rock City’,‘Saint of My Life’‘Jika Kami Bersama’, dan lainnya.
Penampilan mereka dibuka dengan back-sound lagu ‘The Gost Riders In The Sky’ yang bernuansa‘Surf Rock’. Seketika muncul Jerinx(Drummer) ke atas panggung dengan mengendarai sepeda lowrider, disusul Eka Rock(Bassist/Backing Vocal), dan Bobby Kool(Gitarist/Vocal) yang naik ke atas stage lengkap dengan peralatan tempur mereka, yaitu instrumen musik yang mereka usung.
Sebelum naik pentas, Tribun Jogja sempat berbincang dengan Jerinx perihal pernyataan resmi dari Kepolisian bahwa pelaku peledakan ATM di Gejayan adalah dari kelompok punk. Hal ini pun membuat Jerinx angkat bicara. Drummer band beraliran punk rock asal Bali ini bicara blak-blakan seputar hubungan punk dan anarkisme. Menurut Jerinx makna anarki sendiri cukup luas, dan tidak harus 100% diterapkan dengan agresivitas. “Anarki tidak harus menjadi vandalis, dan apakah seorang punk harus menjadi anarki?Tidak juga!” tegasnya.
Drummer yang bernama asli Ari Astina ini berujar kalau setiap manusia berpotensi menjadi seorang anarkis. Punk sendiri juga memiliki arti yang luas. Punk tidak harus berideologi yang keras. Di antaranya ada punk yang nihilis, dan hedonis. “Ada juga punk yang positivis, seperti gerakan straight edge yang anti alkohol, dan narkotika, atau yang lebih ke arah sport seperti, skate punk,” imbuhnya.
Menurut Jerinx punk dan anarkisme adalah sama-sama sebuah sub-kultur. Maka tidak menjadi keharusan seorang punk menjadi anarkis, dan begitu juga sebaliknya. “Tidak semua aktivis anarkis mendengarkan musik punk, bahkan mereka mendengarkan jenis musik yang lainnya.” tambah vokalis Devildice ini.
Mengenai posisi SID, Jerinx mengatakan kalau Ia sendiri bingung posisinya berada dimana. Latar belakang mereka yang berasal dari Bali tidak mengarahkan mereka menjadi seorang anarko. Tapi jika ditanya apakah harus melawan, Ia mengatakan bahwa itu merupakan sebuah kepastian. Namun apa yang dilawannya selalu berubah-ubah, “Terkadang melawan bentuk-bentuk fasisme, dan dalam skup yang lebih kecil, kami juga melawan bentuk kapitalisme lokal seperti kasus BIP di Bali.” tegas musisi kelahiran Kuta, 10 Februari 1977 ini.
Bersama teman-temannya di SID, Bobby Kool dan Eka Rock, Jerinx kerap kali melakukan aksi turun ke jalan untuk mengkritik proyek Bali Internasional Park (BIP) di kawasan bukit, Jimbaran. Proyek di atas lahan terlantar seluas 200 hektar ini nantinya akan dijadikan fasilitas Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerjasama Asia Pasifik (APEC) tahun 2013.

SUPERMAN IS DEAD punya prestasi diluar negeri!



inilahyk.blogspot.com - Indonesia memiliki banyak band potensial. Harusnya kualitas mereka tak kalah bersaing dengan Amerika dan Eropa. Namun sayangnya kebijakan industri musik baik di Amerika maupun di Eropa yang masih tak mau menerima musik 'dunia ketiga' ini sedikit menjadi penghambat band Indonesia untuk berkembang.
Namun hal tersebut tak membuat band Indonesia patah arang. Mereka tetap bisa memasarkan musik mereka hingga keluar negeri. Entah bagaimana caranya selalu akan mereka upayakan. Dan hasilnya beberapa band Indonesia pernah mencicipi atmosfer musik di luar negeri. Yang kali ini adalah mereka yang benar-benar menorehkan tinta emas yang tak bisa dilupakan. 
Pengen tahu siapa saja band yang sukses memperkenalkan musik mereka hingga ke luar negeri? Berikut contekannya! (kpl/kid)
office page Superman Is Dead

PSS Sleman



SEJARAH SINGKAT PERJALANAN TEAM HIJAU PSS MENUJU SEPAKBOLA NASIONAL

SUDAH lama dan berpanjang lebar orang membicarakan bagaimana sebuah permainan sepakbola bisa baik, berkualitas tinggi. Bahkan, dalam konteks nasional, Indonesia pernah kebingungan mencari jawaban itu. Berbagai pelatih atau instruktur didatangkan dari Brasil, Jerman, Belanda dan sebagainya. Namun, toh sepakbola Indonesia tak pernah memuaskan, bahkan tekesan mengalami kemunduran.

Dari pengalaman upaya Tim Nasional Indonesia untuk membangun sebuah permainan sepakbola yang baik itu, sebenarnya ada kesimpulan yang bisa diambil. Kesimpulan itu adalah, selama ini Indonesia hanya mencoba mengkarbit kemampuan sepakbolanya dengan mendatangkan pelatih berkelas dari luar negeri. Indonesia tidak pernah membangun kultur atau budaya sepakbola secara baik. Dengan kata lain, upaya PSSI selama ini lebih membuat produk instan daripada membangun kultur dimaksud.

Pelatih berkualitas, teori dan teknik sebenarnya bukan barang sulit untuk dimiliki. Elemen-elemen itu ada dalam textbook, atau bahkan sudah di luar kepala seiring dengan meluasnya popularitas sepakbola. Indonesia termasuk gudangnya komentator. Bahkan, seorang abang becak pun bisa berbicara tentang sepakbola secara teoritis dan analitis.

Sebab itu, seperti halnya sebuah kehidupan, sepakbola membutuhkan kultur. Artinya, sepakbola harus menjadi kebiasaan atau tradisi yang melibatkan daya upaya, hasrat jiwa, interaksi berbagai unsur dan berproses secara wajar dan jujur, bertahap dan hidup.

Untuk membangun kultur sepakbola itu, jawaban terbaik adalah membangun kompetisi yang baik pula. Lewat kompetisi, tradisi sepakbola lengkap dengan segala elemennya akan berproses dan berkembang ke arah yang lebih baik. Akan lebih baik lagi kompetisi itu terbangun sejak pelakunya masih kecil, tanpa rekayasa dan manipulasi. Pada gilirannya, tradisi itu akan melahirkan sebuah permainan indah dan berkualitas, serta memiliki bentuk dan ciri khasnya tersendiri. Itu sebabnya, kenapa sepakbola Brasil, Belanda, Inggris, Jerman dan Italia tidak hanya berkualitas, tapi juga punya gaya khasnya sendiri- sendiri.

Dalam konteks kecil dan lokal, Persatuan Sepakbola Sleman (PSS), sadar atau tidak, sebenarnya telah membangun sebuah kultur sepakbolanya melalui kompetisi lokal yang rutin, disiplin dan bergairah. Berdiri tahun 1976, PSS termasuk perserikatan yang muda jika dibandingkan dengan PSIM Yogyakarta, Persis Solo, Persib Bandung, Persebaya Surabaya, PSM Makassar, PSMS Medan, Persija dan lainnya.



Namun, meski muda, PSS mampu membangun kompetisi sepakbola secara disiplin, rutin dan ketat sejak pertengahan tahun 1980-an. Kompetisi itu tak bernah terhenti sampai saat ini. Sebuah konsistensi yang luar biasa. Bahkan, kompetisi lokal PSS kini dinilai terbaik dan paling konsisten di Indonesia. Apalagi, kompetisi yang dijalankan melibatkan semua divisi, baik divisi utama, divisi I maupun divisi II. Bahkan, pernah PSS juga menggelar kompetisi divisi IIA.

Maka, tak pelak lagi, PSS kemudian memiliki sebuah kultur sepakbola yang baik. Minimal, di Sleman telah terbangun sebuah tradisi sepakbola yang meluas dan mengakar dari segala kelas. Pada gilirannya, tak menutup kemungkinan jika suatu saat PSS mampu menyuguhkan permainan fenomenal dan khas.

Ini prestasi luar biasa bagi sebuah kota kecil yang berada di bawah bayang-bayang Yogyakarta ini. Di Sleman tak ada sponsor besar, atau perusahaan-perusahaan raksasa yang bisa dimanfaatkan donasinya untuk mengembangkan sepakbola. Kompetisi itu lebih berawal dari kecintaan sepakbola, tekad, hasrat, motivasi dan kemauan yang tinggi. Semangat seluruh unsur #penonton, pemain, pelatih, pengurus dan pembina #terlihat begitu tinggi.

Meski belum optimal, PSS akhirnya menuai hasil dari tradisi sepakbola mereka. Setidaknya, PSS sudah melahirkan pemain nasional Seto Nurdiantoro. Sebuah prestasi langka bagi DIY. Terakhir, pemain nasional dari DIY adalah kiper Siswadi Gancis. Itupun ia menjadi cadangan Hermansyah. Yang lebih memuaskan, pada kompetisi tahun 1999/2000, PSS berhasil masuk jajaran elit Divisi Utama Liga Indonesia (LI).

Perjalanan PSS yang membanggakan itu bukan hal yang mudah. Meski lambat, perjalanan itu terlihat mantap dan meyakinkan. Sebelumnya, pada kompetisi tahun 1990-an, PSS masih berada di Divisi II. Tapi, secara perlahan PSS bergerak dengan mantap. Pada kompetisi tahun 1995/96, tim ini berhasil masuk Divisi I, setelah melewati perjuangan berat di kompetisi-kompetisi sebelumnya.

Dengan kata lain, PSS mengorbit di Divisi Utama LI bukan karena karbitan. Ia melewatinya dengan proses panjang. Kasus PSS menjadi contoh betapa sebuah kulturisasi sepakbola akan lebih menghasilkan prestasi yang mantap daripada produk instan yang mengandalkan ketebalan duit.

Dan memang benar, setelah bertanding di kompetisi Divisi Utama, PSS bukanlah pendatang baru yang mudah dijadikan bulan- bulanan oleh tim-tim elit. Padahal, di Divisi Utama, PSS tetap menyertakan pemain produk kompetisi lokalnya. Mereka adalah M Iksan, Slamet Riyadi, Anshori, Fajar Listiantoro dan M Muslih. Bahkan, M Ikhsan, Slamet Riyadi dan Anshori merupakan pemain berpengaruh dalam tim.

Pada penampilan perdananya, PSS langsung mengagetkan insan sepakbola Indonesia. Di luar dugaan, PSS menundukkan tim elit bergelimang uang, Pelita Solo 2-1.

Bahkan, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono sendiri yang saat itu berada di Brunei Darussalam dalam rangka promosi wisata juga kaget. Kepada Bupati Sleman Ibnu Subianto yang mengikutinya, Sri Sultan mengatakan, "Ing atase cah Sleman sing ireng-ireng biso ngalahke Pelita." Artinya, anak-anak Sleman yang hitam-hitam itu (analog orang desa) kok bisa mengalahkan tim elit Pelita Solo.

Saat itu, Ibnu Subianto menjawab, "Biar hitam nggak apa- apa tho pak, karena bupatinya juga hitam." Ini sebuah gambaran betapa prestasi PSS memang mengagetkan. Bahkan, gubernur sendiri kaget oleh prestasi anak-anaknya. Akan lebih mengagetkan lagi, jika Sri Sultan tahu proses pertandingan itu. Sebelum menang, PSS sempat ketinggalan 0-1 lebih dulu. Hasil ini menunjukkan betapa permainan PSS memiliki kemampuan dan semangat tinggi, sehingga tak minder oleh tim elit dan tak putus asa hanya karena ketinggalan. Berikutnya, tim cukup tua Gelora Dewata menjadi korbannya. Bahkan, di klasemen sementara, PSS sempat bertengger di urutan pertama.

Ketika tampil di kandang lawan, Malang United dan Barito Putra, PSS juga tak bermain cengeng. Bahkan, meski akhirnya kalah, PSS membuat tuan rumah selalu was-was. Sehingga, kekalahan itu tetap menjadi catatan mengesankan. Maka, tak heran debut PSS itu kemudian menjadi perhatian banyak orang. Hanya dalam sekejap, PSS sudah menjadi tim yang ditakuti, meski tanpa bintang.

Pembinaan sepakbola ala PSS ini akan lebih tahan banting. Sebab itu, terlalu berlebihan jika menilai PSS bakal numpang lewat di Divisi Utama.

Dengan memiliki tradisi sepakbola yang mantap dan mapan, tak menutup kemungkinan jika PSS akan memiliki kualitas sepakbola yang tinggi. Bahkan, bukan hal mustahil jika suatu saat PSS bisa juara LI.

Apa yang terjadi di Sleman sebenarnya mirip dengan yang terjadi di Bandung dengan Persib-nya dan di Surabaya dengan Persebaya-nya. Di kedua kota itu, kompetisi lokal juga berjalan dengan baik, bahkan sepakbola antarkampung (tarkam) pun kelewat banyak. Maka tak heran jika sepakbola di Bandung dan Surabaya sangat tangguh dan memiliki ciri khas tersendiri. Oleh karena itu, jika tradisi sepakbola di Sleman bisa dipertahankan bahkan dikembangkan, tak menutup kemungkinan PSS akan memiliki nama besar seperti halnya Persib atau Persebaya. Semoga!

Dua Kelompok Suporter PSS Sleman Akhiri Perseteruan













YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Dua kelompok suporter klub PSS Sleman, Slemania dan Brigata Curva Sud (BCS) telah menyepakati mengakhiri perseteruan yang dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU). MoU itu ditandatangani kedua pihak di Rumah Makan Mbah Bardi, Jum'at (12/4/2013). 

Penandatanganan disaksikan oleh segenap jajaran manajemen klub, serta pihak kepolisian yang diwakili Binmas serta Pengendalian Operasi Polres Sleman. Pernyataan sikap berdamai dengan penandatanganan MoU merupakan tindaklanjut dari pertemuan kedua pihak di Mapolres Selasa lalu. 

Dalam pertemuan itu kedua belah pihak menyepakati tujuh hal, antara lain Slemania-BCS sepakat membesarkan dan mendukung PSS dengan semangat kekeluargaan. Keduanya juga sepakat melupakan kejadian di masa lalu dan saling memaafkan. 

Kemudian mereka berjanji akan membina dan mengondisikan anggota masing-masing, serta membentuk korlap di tiap kecamatan.Jika terjadi gesekan antarkelompok akan diselesaikan dengan jalan musyawarah. 

AKP Teguh Sumartoyo, Kasat Binmas Polres Sleman menyambut baik sikap berdamai dari kedua belah pihak. "Semoga akan terus di jaga bersama-sama sehingga insiden tawuran tidak terjadi di setiap partai home PSS Sleman," katanya. 

Teguh menjelaskan, di dalam kesepakatan tertera juga jika perselisihan terjadi kembali dan tidak bisa diselesaikan secara musyawarah, maka penyelesaian diserahkan kepada kepolisian. 

Sementara itu, Kasubag Dal Ops Polres Sleman AKP Karjiman mengatakan, saat ini kepolisian telah memberikan izin pertandingan pada malam hari. "Tapi jika terjadi keributan, maka izin dapat diubah menjadi pertandingan sore hari. Kalau masih terjadi keributan juga,pertandingan akan digelar tanpa penonton," kata Karjiman.

MAGUWOHARJO INTERNATIONAL STADIUM (MIS)





PSS dan Stadion Maguwoharjo
Stadion Maguwoharjo dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Sleman sebagai alternatif pengganti Stadion Tridadi yang merupakan homebase PSS Sleman dalam beberapa musim kompetisi. Animo masyarakat Sleman yang besar, terutama slemania, dalam mendukung PSS setiap kali berlaga di kandang membuat kapasitas di Stadion Tridadi sudah tidak mampu menampung penonton.
Dalam kurun waktu tahun 2004 hingga 2006 dibangunlah sebuah stadion yang memiliki standar internasional. Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan ketidaklayaan stadion Tridadi untuk menjamu tim-tim besar Liga Indonesia.
Stadion yang dibangun di Desa Maguwoharjo ini resmi bisa digunakan sebagai kandang PSS Sleman dalam mengikuti kompetisi Divisi Utama Liga Indonesia 2007. Dengan memiliki daya tampung hingga 35.000 penonton membuat stadion Maguwoharjo mampu menampung seluruh penonton yang menyaksikan tim kesayangan mereka, PSS Sleman saat bertanding, bahkan juga bisa menampung hingga 10.000 suporter tamu yang datang.
Stadion yang memiliki nama resmi Maguwoharjo International Stadium (MIS) ini dianggap sebagai salah satu stadion terbaik di Indonesia selain Stadion Gelora Bung Karno di Jakarta, Stadion Jakabaring di Palembang, dan Stadion Jalak Harupat di Kabupaten Bandung. Bahkan, Stadion Maguwoharjo pernah digunakan oleh tim nasional Indonesia dalam melakukan pertandingan ujicoba.

SUDUT PANDANG MIS (MAGUWOHARJO INTERNATIONAL STADIUM)



Suporter BCS (Brigata Curva Sud) #sleman

Inilah kompaknya suporter PSS Sleman (BCS) @2013 lalu.

Mereka sangat bersemangat demin tim (pss) ,nah kekompakkanya lah yang sangat beda .
bersatu tanpa membeda-beda kan .
Bagaimanakah kira-kira kekompakan mereka di tahun 2014 ini?
#preview foto suporter BCS di 2013 lalu :